Nabi Muhammad SAW pernah ditanya istri Nabi, Aisyah, mengenai doa apa yang mesti dibaca saat Lailatul Qadar, Nabi Menjawab,
“Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni”.
Doa ini dalam bahasa Indonesia kira-kira, “Ya Allah, ya Tuhanku;
sungguh Engakau Maha Pengampun, suka mengampuni, maka ampunilah aku.”
Maha pengampun-Nya Allah dan kesukaan-Nya mengampuni tidak hanya tercermin dalam asma-asma-Nya seperti
Al-Ghafuur, al-Ghaffaar, dan
Al-‘Afwu, tetapi juga dapat diketahui melalui banyak firman-Nya di al Quran dan sabda Rasul-nya dalam hadis-hadis-Nya.
Salah
satu firman-Nya bahkan menyeru hamba-hamba-Nya yang berdosa agar tidak
berputus harapan akan pengampunan-Nya dan menegaskan bahwa Dia
mengampuni dosa-dosa, semuanya (Q39:53).
Bahkan sedemikian
sukanya Allah mengampuni sehingga Rasul-Nya dalam bahasa sahih bersumber
dari sahabat Abu Hurairah dan riwayat imam Muslim-bersumpah bahwa
seandainya “kalian semua tidak ada yang berdoa, Allah SWT akan
menghilangkan kalian dan menggantinya dengan kaum yang berdosa yang
memohon ampun kepada Allah lalu Ia pun mengampuni mereka”.
Maka,
kita melihat “lembaga pengampunan” Allah yang dapat menghapuskan dosa,
begitu banyak. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang menjadikan banyak
amalan sebagai penghapus dosa, mulai dari istighfar, shalat, puasa,
hingga berbuat baik lainnya, semuanya dapat menghapus dosa. Ini sangat
kontras dengan perangai “khalifah”nya di bumi yang namanya manusia ini.
Manusia-setidaknya
kebanyakan mereka-dari satu sisi suka berbuat kesalahan, dan disisi
lain gampang tersinggung dan sangat sulit memaafkan kesalahan.
Bahkan,
dalam banyak diantara mereka yang merasa “dekat” dengan Tuhan pun tidak
tampak lebih pemaaf daripada yang lain. Malah sering kali justru lebih
terlihat sempit dada dan tengik.
Yang aneh, terhadap Allah yang
begitu baik dan Maha Pengampun, kita ini begitu hati-hati. Namun kepada
sesama manusia yang tersinggung dan begitu sulit memaafkan, kita malah
sering sembrono, padahal, dibandingkan dengan dosa yang langsung
berhubungan dengan Allah, kesalahan terhadap sesama manusia jauh lebih
sulit menghapusnya. Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang
mengetahui kesalahan kepada saudaranya sesama manusia sebelum saudaranya
itu memaafkan.
Makna halalbihalalAda
sebuah hadis sahih yang sungguh membuat mukmin yang sehat pikirannya
akan merasa khawatir merenungkannya. Yaitu hadis sahih-dari sahabat Abu
Hurairah yang diriwatkan oleh Bukhari dan Muslim-tentang betapa
tragisnya orang yang saat datang di hari kiamat membawa seabrek (pahala)
amal, seperti shalat puasa, dan zakat, sementara ketika hidup di dunia
banyak berbuat kejahatan kepada sesama.
Digambarkan, nanti orang
yang pernah dicacinya, orang yang pernah difitnahnya, yang pernah
dimakan hartanya, yang pernah dilukainya, dan pernah dipukulnya akan
beramai-ramai menggerogoti (pahala) amalnya yang banyak itu.
Bahkan
apabila (pahala) amalnya itu sudah habis dan masih ada orang yang
pernah dizalimi dan belum terlunasi dosa orang ini pun akan ditimpukkan
kepadanya sebelum akhirnya dia dilempar ke neraka. Orang yang malang ini
disebut Rasulullah sebagai orang yang bangkrut yang sebenarnya.
Lihatlah
orang yang bangkrut itu disebutkan membawa seabrek (pahala) shalat,
puasa, dan zakat. Berarti dari sisi ini, dia adalah orang yang taat
beribadah. Namun, karena perangainya yang buruk terhadap sesama, justru
hasil ibadahnya itu sirna.
Maka, bagi kaum beriman, berhati-hati
dalam pergaulan itu sangat penting. Kaum beriman tidak hanya
mengandalkan amal ibadahnya tanpa menjaga akhlak pergaulannya dengan
sesama. Apalagi, karena bangga terhadap amal ibadahnya, lalu merendahkan
dan menyepelekan sesamanya.
Na’idzubillah min dzaalik.Masih
ada satu hadis sahih lagi yang senada dengan hadis di atas yang
menganjurkan kita segera meminta halal dari orang yang pernah kita
zalimi
(falyatahallalhu minhu), apakah itu berkenan dengan kehormatannya atau yang lain.
Saya
pikir, bertolak dari sinilah bermula istilah halal bihalal (menulisnya
tidak dipisah-pisah). Anjuran Nabi untuk meminta halal dari saudara kita
yang penah kita zalimi tentunya berlaku juga bagi saudara kita.
Seperti kita ketahui, kata kita ini assembling dari bahasa Arab. Asalnya
halaal-bi-halaal (dalam kamus Arab sendiri, tidak ditemukan entri
halaal-bi-halaal
ini). Jadi, ini murni rakitan bangsa Indonesia. Semua mempunya makna
harfiah halal dengan halal, kemudian menjadi saling menghalalkan.
Begitulah tradisi silaturahmi (Arabnya
silaturrahim)
di hari raya Idul Fitri pun diisi dengan acara halalbihalal. Saling
menghalalkan alias saling memaafkan. Halalbihalal-lah terutama mendorong
orang bersemangat melakukan silaturrahim di hari raya Idul Fitri.
Sampai-sampai kemudian melahirkan tradisi lain yang kita sebut mudik.
Kalau
tujuannya saling memaafkan, mengapa halalbihalal ini (hanya) dilakukan
di hari raya Idul Fitri atau di bulan Syawal, tidak setiap saat.
Boleh jadi ini ada kaitannya dengan “watak” bangsa kita yang sulit mengaku salah dan sulit memaafkan. Jadi, diperlukan
timing yang
tepat untuk saling meminta dan memberi maaf. Lalu kapan itu? Nah, tidak
ada saat yang lebih tepat melebihi saat setelah puasa Ramadhan.
Mengapa?
Karena sesuai janji Rasulullah SAW, barangsiapa yang berpuasa di bulan
Ramadhan semata-mata karena iman dan mencari pahala Allah, diampuni
dosa-dosanya yang sudah-sudah.
Tentunya ini dosa-dosa yang
berkaitan dengan Allah langsung. Orang yang tidak mempunyai dosa kepada
Allah karena dosa-dosanya sudah diampuni, dadanya menjadi lapang.
Mungkin ini bisa menjelaskan mengapa setelah usai puasa Ramadhan,
orang-orang Islam menjadi terbuka, ringan menerima maaf, dan mudah
memaafkan.
Maka, dosa-dosa berat yang diakibatkan kesembronoan
dalam pergaulan hidup dengan sesama hamba Allah diharapkan dengan mudah
dilebur. Nah, kesempatan bersilaturrahim di hari raya Idul Fitri ini
sangat sampai kita lewatkan untuk berhalalbihalal, saling menghalalkan
dan saling memaafkan. Sehingga di Lebaran ini, leburkan semua dosa-dosa
kita semoga.
Sumber : http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,6-id,53553-lang,id-c,taushiyah-t,Idul+Fitri+dan+Halahbihalal-.phpx